Cara Pendaftaran NPWP

Naaaah, ini nih buat temen-temen yang pengen bikin NPWP karna disuruh buat NPWP hehehe atau kesadaran diri sendiri. Yang lagi hot-hot nya bikin NPWP karna temen-temen mau bikin rekening bank tapi diminta NPWP sama bank, ya mau ga mau deh harus bikin NPWP. Hayoo ngaku siapa yang begitu? hehehe

Tapi ada juga orang yang bingung, bagaimana buat NPWP tuh? Karna orang tersebut awam pajak. So, saya mau kasih nih cara daftar NPWP nya, biar ga bingung lagi 🙂

Tatacara Pendaftaran NPWP telah diatur kembali melalui Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2013.

SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN NPWP
(Jangan lupa dibawa untuk saat mendaftar NPWP, daripada bolak-balik Kantor Pelayanan Pajak)

Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):

Wajib Pajak Orang Pribadi:

    1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas berupa:
      1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia; atau
      2. fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing.
    2. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas berupa:
      1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara Indonesia, atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing, dan fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/ bukti pembayaran listrik; atau
      2. fotokopi e-KTP bagi Warga Negara Indonesia dan surat pernyataan di atas meterai dari Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan benar-benar menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
    3. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah, permohonan juga harus dilampiri dengan:
      1. fotokopi Kartu NPWP suami;
      2. fotokopi Kartu Keluarga; dan
      3. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.

Wajib Pajak Badan :

  1. Untuk Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi yang berorientasi pada profit (profit oriented) berupa :
        1. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
        2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing; dan
        3. fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/bukti pembayaran listrik.
  2. untuk Wajib Pajak badan yang tidak berorientasi pada profit (non profit oriented) dokumen yang dipersyaratkan hanya berupa: fotokopi e-KTP salah satu pengurus badan atau organisasi; dan surat keterangan domisili dari pengurus Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW).
  3. Wajib Pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajaksesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk  bentuk kerja sama operasi (Joint Operation), berupa :
      1. fotokopi Perjanjian Kerjasama/Akte Pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (Joint Operation);
      2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
      3. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (Joint Operation), atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing; dan
      4. fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.

 

 

Nah… ADA 2 CARA UNTUK DAFTAR NPWP

Pertama, datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat sesuai domisili kamu

  1. Datang aja, ga usah ketok-ketok pintu hehe. Terus datangin petugas disana, “Pa, saya mau daftar NPWP”
  2. Langsung diberikan formulir pengisian NPWP sama petugas itu, lalu isi saja.
  3. Setelah isi formulir pengisian tersebut, berikan lagi ke petugas disana. Dan jangan lupa syarat-syarat untuk pendataran seperti diatas. Lalu data kamu akan di verifikasi
  4. Lalu petugas akan memberi tahu NPWP kamu kapan akan jadi. (Dulu, 15 menit langsung jadi. Tapi sekarang, ditinggal 1 hari dan diambil NPWP nya besok atau sesuai perintah dengan petugas)
  5. Setelah NPWP kamu dapatkan, kamu jg akan mendapatkan gelas cantik hehe.. ya, kamu jg mendapatkan SKT (Surat Keterangan Terdaftar) gunanya untuk memberi tahu apa saja kewajiban pajak kamu. Kalau tidak dikasih, kamu harus minta, karna biasanya ada KPP yang tidak memberikan SKTnya

Kedua, regitrasi online ke website Direktorat Jenderal Pajak (Ini cara orang malas ke Kantor Pelayanan Pajak  tapi cerdas)

  1. Membuka situs DJP dengan alamat http://www.pajak.go.id atau langsung klik ke www.ereg.pajak.go.id (kalau klik ini, langsung lanjut ke poin ke 3)
  2. Memilih menu sistem e-Registration
  3. Membuat Account baru pada sistem e-Registration
  4. Login ke sistem e-Registration dengan mengisi username dan password yang telah dibuat
  5. Memilih jenis Wajib Pajak yang sesuai (Orang Pribadi, Badan atau Bendaharawan)
  6. Mengisi formulir permohonan dengan lengkap dan benar dan kemudian klik tombol “daftar” jika telah selesai diisi dengan benar dan lengkap
  7. Mencetak Formulir dan Surat Keterangan Terdaftar Sementara (SKTS)
  8. Wajib Pajak dapat mengirim Formulir dan SKTS serta dokumen persyaratan baik secara langsung maupunmelalui Pos/Jasa Pengiriman.
  9. Menerima SKT, NPWP dari KPP dimana Wajib Pajak Terdaftar setelah dilakukan validasi

Gampang kan daftarnya?? 🙂

 

Oleh : Kusuma Dewi

Apa itu NPWP?

NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Apa fungsi NPWP ?

  1. Sarana dalam administrasi perpajakan.
  2. Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
  4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan

Dalam kartu NPWP tersebut, terdapat tulisan Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak beserta logo departemen tersebut sebagai departemen yang bertanggung jawab atas keluarnya NPWP tersebut (di paling atas). Lalu terdapat No NPWP yang terdiri dari 15 digit, yaitu 9 digit pertama merupakan kode wajib pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode adminitrasi perpajakan. Dengan format : XX.XXX.XXX.X-XXX.XXX. Lalu ada nama dan alamat WP, dan dipaling bawah ada tanggal terdaftarnya NPWP tersebut.

Catatan :

  • WP yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri apabila memerlukan NPWP, dapat mendaftarkan diri dan kepadanya akan diberikan NPWP
  • Setiap WP hanya mempunyai 1 NPWP untuk semua jenis pajak
  • Untuk perusahaan perseorangan, NPWP atas nama pemiliknya
  • Untuk badan (misalnya PT dan CV) yang baru berdiri sebaiknya tetap mempunyai NPWP karena apabila rugi dapat dikompensasikan dengan tahun berikutnya. Dan untuk sarana administrasi dalam membayar pajak yang berhubungan dengan badan
  • Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai Subjek Pajak menggunakan NPWP dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut.

Oleh : Kusuma Dewi

Apa itu e-SPT ?

Mungkin untuk para praktisi pajak pasti semua sudah tahu apa itu e-SPT, tapi bagi orang yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan pajak pasti akan bingung apa itu e-SPT.

Nah untuk membantu teman-teman yang belum pernah tahu e-SPT, maka sayan akan mencoba menjelaskan apa itu e-SPT.

Ada yang tahu e-SPT ?

e-SPT adalah sebuah aplikasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk digunakan oleh Wajib Pajak (WP) dalam melaporkan SPT atau Surat Pemberitahuan (agar lebih mudah dan tidak menghabiskan banyak kertas). e-SPT adalah kependekan dari elektronik surat pemberitahuan

e-SPT merupakan salah satu bentuk inovasi dari institusi Direktorat Jenderal Pajak. Karena selama puluhan tahun pengelolaan penerimaan negara dari sektor pajak dilaporkan oleh WP secara manual (menggunakan banyak kertas), namun hal ini dapat diminimalkan penggunaan kertasnya melalui penggunaan aplikasi e-SPT. Kenapa disebut meminimalkan? Karena saat WP memberikan data SPT (berupa soft copy) hasil pengunaan aplikasi e-SPT), tetap saja WP harus memberikan SPT berupa hard copy namun biasanya hanya diminta induknya saja.

Kapan ketentuan e-SPT ini dimulai?

Ketentuan mengenai penggunaan aplikasi e-SPT dalam pelaporan pajak dimulai seiring terbentuknya kantor-kantor pajak modern (diantaranya Kantor Wajib Pajak Besar/LTO-Large Tax Office dan Kantor Pelayanan Pajak Madya/MTO-Medium Tax Office). Semua WP yang terdaftar di kantor-kantor pajak tersebut diwajibkan melaporkan semua SPT-nya (SPT Masa & Tahunan) dalam bentuk e-SPT.

Untuk WP yang terdaftar di KPP Pratama, dalam melaporkan PPN wajib menggunakan e-SPT (yaitu e-SPT PPN 1111). Untuk ketentuan penggunaak e-SPT PPN 1111 tersebut diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), yang berlaku sejak pengisian dan pelaporan SPT Masa PPN masa pajak Januari 2011.

Dan yang masih hot di tahun 2014, yaitu penggunaan e-SPT untuk pelaporan SPT PPh Pasal 21 (Apa PPh pasal 21? Coba searching aja ya? hehe). Dalam penggunaannya, DJP mencanangkan PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang mulai berlaku per 1 Januari 2014.

Masih banyak lagi jenis aplikasi e-SPT untuk pelaporan e-SPT, yakni e-SPT Tahunan Badan 1771 (ada untuk Rupiah dan Dollar), e-SPT Tahunan Orang Pribadi, e-SPT PPh Pasal 4 ayat 2, e-SPT PPh Pasal 15, e-SPT PPh Pasal 22, e-SPT PPh Pasal 23, e-SPT PPN 1111 DM, dan e-SPT PPN 1107. Ya, aplikasi ini digunakan sesuai kebutuhan kita. Namun, e-SPT yang wajib digunakan baru hanya untuk PPN dan PPh Pasal 21. Dan mungkin nanti akan terus ada peraturan baru untuk penggunaan aplikasi e-SPT lainnya.

Apa kelebihan menggunakan aplikasi e-SPT?

  1. Penyampaian SPT dapat dilakukan secara cepat dan aman, karena lampiran dalam bentuk media flashdisk/CD/disket.
  2. Data perpajakan terorganisir dengan baik
  3. Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis
  4. Penghitungan dilakukan secara cepat dan tepat karena menggunakan sistem komputer
  5. Kemudahan dalam membuat Laporan Pajak
  6. Data yang disampaikan WP selalu lengkap, karena penomoran formulir dengan menggunakan sistem komputer.
  7. Menghindari pemborosan penggunaan kertas
  8. Berkurangnya pekerjaan-pekerjaan klerikal perekaman SPT yang memakan sumber daya yang cukup banyak

oleh : Kusuma Dewi

Sejarah Pajak di Indonesia

Pasti kita sering sekali mendengar kata pajak. Beli barang kena PPN (Pajak Pertambahan Nilai), punya motor juga tiap tahun harus bayar pajak kendaraan bermotor, makan di restoran kena pajak restoran, punya rumah kena PBB (Pajak Bumi Bangunan), semua deh kena pajak. Haduh dari mana sih pajak itu sendiri? Dari mana asalnya?

Nah, kali ini saya menceritakan asal muasal atau sejarah pajak di Indonesia.

Pernah dengar upeti?

Itu loh, kalau di sinetron Raden Kian Santang, rakyat harus memberikan upeti yaitu pemberian cuma-cuma kepada seorang raja atau penguasa (Misalnya : upeti untuk Kerajaan Padjajaran hehe ), biasanya berupa hasil tani, entah berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa.

Pemberian dari rakyat ini digunakan untuk keperluan raja atau penguasa setempat. Atas pemberian upeti ini tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat. ckckck

Perkembangannya

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi ada timbal balik atas pemberian upeti tersebut, dari rakyat untuk rakyat.  Artinya pemberian tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.

Karena pemberian upeti ini dari rakyat untuk rakyat yang sifatnya memaksa tersebut, kemudian dibuat suatu  aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan lagi. Untuk memenuhi unsur tersebut maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:

  1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
    1. Aturan Bea Meterai;
    2. Ordonansi Bea Balik Nama;
    3. Ordonansi Pajak Kekayaan;
    4. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
    5. Ordonansi Pajak Upah;
    6. Ordonansi Pajak Potong;
    7. Ordonansi Pajak Pendapatan;
    8. Undang-undang Pajak Radio;
    9. Undang-undang Pajak Pembangunan I;
    10. Undang-undang Pajak Peredaran.

Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:

  1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
    1. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
    2. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
    3. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
    4. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs     atau Tata Cara MPS-MPO.

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:

  1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
  2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
  3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
  4. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
  5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:

  1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
  2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
  3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
  4. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:

  1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
    1. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    2. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
    3. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
    4. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:

  1. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
  2. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
  3. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
  4. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
  5. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
  6. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
  7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.

Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policybeberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM  No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.

Nah, sekarang sudah tahu kan sejarah pajak di Indonesia itu seperti apa? 🙂

oleh : Kusuma Dewi